Masyarakat Toraja percaya bahwa bayi yang meninggal sebelum gigi mereka tumbuh memiliki jiwa yang murni tanpa dosa, sehingga mereka perlu dikembalikan ke dalam pelukan Ibu Bumi. Sebuah pohon Tarra dipilih karena getah putihnya menyerupai air susu ibu, dan pohon itu menjadi semacam benteng bagi sang bayi yang diletakkan di sana tanpa penutup.
Masyarakat Toraja memiliki banyak praktek pemakaman, tapi yang paling membuat wisatawan penasaran adalah pemakaman dengan pohon. Pemakaman ini, di mana jenazah bayi dikebumikan di dalam pohon hidup, dapat diobservasi di desa Kambira.
Pemakaman pohon tidak lagi muncul di Toraja. Pemakaman pohon terakhir yang tercatat terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu. Praktek pemakaman yang tidak biasa ini khusus untuk bayi-bayi yang meninggal sebelum gigi mereka tumbuh. Mengikuti kematian sang bayi, sebuah ceruk dangkal dibuat di batang pohon.
Bayi yang meninggal akan dibungkus dengan pakis dan dikebumikan di dalam pohon. Masyarakat Toraja percaya bahwa pemakaman bayi yang meninggal ke dalam pohon akan mengembalikan sang bayi ke alam. Untuk menutupi makam ini, kulit pohon kelapa akan dililitkan melingkari pintu masuk makam.
Seiring berjalannya waktu (dan semua makam di Kambira sudah berusia lebih dari 50 tahun), pohon tumbuh mengelilingi makam bayi. Pohon yang umumnya digunakan untuk makam adalah pohon nangka, karena orang Toraja percaya bahwa bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh memiliki tulang dan daging yang lunak seperti nangka. Bayi seperti itu juga dianggap suci dan murni.
Ketika seorang bayi dimakamkan di dalam pohon, posisi makam secara hati-hati dipilih. Pohon, di mana sang bayi dimakamkan, dianggap sebagai ibu baru bagi bayi tersebut. Untuk alasan ini, makam selalu berada di sisi berlawanan dari rumah orang tua bayi tersebut.
Kunjungi Kambira dan Anda akan menemukan bahwa hutan di sekitar desa penuh dengan jenazah. Beberapa pohon bahkan memiliki beberapa jenazah dimakamkan di dalamnya. Ini adalah bagian penting dalam budaya Toraja untuk merawat mereka yang sudah meninggal.