Anda akan selalu menemukan sesuatu yang menarik ketika bertemu dengan masyarakat Toraja yang tinggal di pegunungan tertinggi Sulawesi Selatan di Indonesia. Kata Toraja berasal dari ungkapan bahasa Bugis menjadi riaja yang berarti “orang yang mendiami negeri di atas”.
Saat Anda menikmati pemandangan singkapan batu kapur kuno, Anda akan melihat rumah tongkonan berbentuk unik menghiasi lanskap. Ada yang mengatakan atap yang melengkung tajam melambangkan tanduk kerbau, ada pula yang mengatakan bahwa atapnya mirip dengan kapal yang ditumpangi nenek moyang Toraja. Tanduk kerbau asli dan tulang rahang babi menghiasi dinding tongkonan, serta ukiran tangan rumit yang memberi wawasan untuk memahami sistem kekerabatan masyarakat.
“Tongkonan adalah alam semesta atau mikrokosmos bagi masyarakat Toraja,” kata Arnold, pemuda setempat yang juga berprofesi sebagai guru. “Jika Anda ingin mengetahui sesuatu tentang Toraja, Anda harus melihat tongkonannya.” Keluarga Toraja menggunakan rumah tongkonan untuk menelusuri silsilah mereka dan secara visual mewakili garis keturunan leluhur mereka. Ikatan kekerabatan dapat terlihat ketika orang Toraja mengatakan satu sama lain bahwa ‘rumah kita bertemu’.
Beberapa keluarga memelihara rumah tongkonan dan lumbung padi (alang) yang berusia ratusan tahun dan dibangun oleh nenek moyang mereka. Namun, biaya pemeliharaannya terlalu mahal, dan semakin banyak keluarga Toraja yang membiarkan tongkonan mereka rusak.
Dari kejauhan pegunungan tampak dikelilingi pepohonan hijau subur. Seiring berjalannya hari, matahari membakar kabut pagi, memperlihatkan pemandangan yang lebih jelas ke arah karst batu kapur yang menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi orang mati. Orang Toraja mengamati upacara pemakaman yang rumit yang melibatkan penguburan anggota keluarga dan kerabat di ceruk gua di dataran tinggi. Upacara pemakaman yang dikenal dengan Rambu Solo’ ini biasanya dihadiri ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Arnold menyebut banyak masyarakat Toraja yang masih menganut agama lokal bernama Aluk To Dolo, meski banyak yang menganut agama Kristen. Masyarakat Toraja percaya bahwa hewan yang dikorbankan pada ritual Rambu Solo, khususnya kerbau, akan membawa arwah orang yang sudah meninggal ke alam roh. Alhasil ratusan, bahkan ribuan persembahan berupa kerbau, babi, ayam, dan hewan lainnya dikorbankan pada ritual ini.
Kain tenun juga menjadi bagian penting dalam upacara pemakaman. Salah satu tenun ikat sakral ini memiliki warna dominan oranye terang dan biru, serta dihiasi bentuk belah ketupat, panah, dan wajik dengan pola geometris. Beberapa kain dengan pola tersebut dikenal berasal dari Rongkong dan Kalumpang, pola ini mewakili nenek moyang Toraja tetapi mungkin dikenal dengan nama berbeda di tempat lain.
Saat ini adat Toraja di Sulawesi Selatan secara administratif terbagi menjadi beberapa kabupaten. Selain di Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Rongkong berada di Kabupaten Luwu, sedangkan Kalumpang di Kabupaten Mamuju. Konvensi penamaan kain tenun di Toraja tidak selalu mengacu pada motifnya, tetapi bisa juga merujuk pada tempat, teknik yang digunakan, dan fungsi dari tenun tersebut. Suwati Kartiwa misalnya menulis bahwa Rongkong dan Kalumpang menggunakan porisitutu sebagai kain peti mati yang menutupi jenazah.
Upacara Rambu Solo membutuhkan banyak biaya dan tenaga, serta memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mempersiapkannya. Oleh karena itu, masyarakat Toraja mengembangkan tradisi menyimpan dan mengawetkan jenazah dengan bahan-bahan khusus sementara keluarga mengumpulkan dan menyiapkan semua bahan yang diperlukan. Sedangkan jenazah yang tidak dikuburkan dianggap sebagai “orang sakit”. Ia disimpan di dalam rumah dan diperlakukan seperti orang hidup, dan diundang untuk ikut serta dalam percakapan dan makan bersama keluarga. Jenazah juga dibungkus dengan lapisan kain tenun yang terbuat dari benang katun dan pewarna alami yang mengandung makna spiritual, serta berkontribusi pada proses mumifikasi.
Menenun merupakan kegiatan spiritual yang penting dan dihormati oleh masyarakat Toraja, namun hanya perempuan yang menenun kain tersebut. Mereka mewarisi keterampilan dan pengetahuan yang diajarkan oleh nenek atau ibunya. Sejak kecil, anak perempuan terlibat dalam proses pembuatan kain, mulai dari memotong kapas atau menggulung benang. Seiring waktu mereka mempelajari tahapan menenun yang rumit.