Anggui menjelaskan, pada musim kemarau air sangat sedikit, dan pada musim hujan air meluap sehingga menyebabkan banjir. “Selain kerusakan di bagian hulu, juga terjadi kerusakan dan pencemaran di sungai dan sepanjang bantaran sungai.”
Kurangnya pemeliharaan bantaran sungai menyebabkan tanah longsor terjadi di berbagai titik, menghalangi dan mempersempit aliran sungai. “Selain longsor, banyak juga pemilik rumah dan kandang ternak yang membuang sampahnya ke sungai,” imbuhnya.
Sebagai bagian dari festival sungai, masyarakat menanam pohon di tiga lokasi berbeda, serta membersihkan dan merevitalisasi tepian sungai. Ratusan orang, termasuk pelajar muda, terlibat dalam pengangkutan 3.500 bibit tanaman ke lereng gunung, menggali lubang, dan menanam pohon. Beberapa jemaah yang berada di bantaran Sungai Sa’dan juga turut terlibat dalam pembersihan sungai di wilayahnya masing-masing.
Perayaan yang digelar dua kali di bantaran sungai itu dihadiri ratusan orang, termasuk jemaah dan masyarakat sekitar.
Anggui menceritakan, sungai-sungai yang ada di bumi ini sejak awal diciptakan dengan air yang jernih untuk memberikan kesuburan dan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan.
Saat salat syukur, sembilan anak dan tiga orang dewasa dibaptis di tepian sungai ini.
Beberapa kegiatan budaya yang sesuai dengan tema perayaan diadakan di tepian sungai, antara lain menari, musik, olah raga air, melukis, TikTok, serta pembuatan konten media sosial dan diskusi mengenai peran gereja dan masyarakat dalam menjaga lingkungan.