Tekstil seringkali menjadi bagian integral dari ritual, tradisi dan kehidupan sehari-hari suatu masyarakat. Tekstil seperti batik, tenun atau pakaian adat dapat menjadi simboli identitas budaya yang kuat. Tekstil tidak hanya sekedar bahan, tetapi juga merupakan bagian penting dari warisan budaya, sejarah, dan seni suatu masyarakat sehingga dapat dianggap sebagai pusaka

Penutur Kaili-Pamona menyebutkan bahwa ada beberapa tekstil kuno ratusan tahun lalu diantaranya kain Sarita yang diekspor ke Indonesia sebelum abad ke 15 berdasarkan catatan etnografi, koleksi di museum, foto-foto lama dan istilah yang digunakan untuk berbagai tekstil.
Sarita berasal dari bahasa India, memiliki makna penting dalam warisan budayanya. Dalam bahasa Sansekerta bermakna sungai. Sarita melambangkan kualitas air yang mengalir yang memberi kehidupan dan memurnikan.
Sarita adalah kain panjang sempit dengan desain gulungan, bentuk sulur, lingkaran dan kerbau. Desainnya dikerjakan dengan proses resist yang menyerupai batik. “Bukti teknik tahan lilin yang menunjukkan bahwa di pulau yang tidak terlalu terpengaruh oleh budaya Hindu-Budha ini memberikan titik temu bagi mereka yang mengklaim bahwa batik adalah asli Nusantara, dan bukan kerajinan impor dari India. Sebenarnya ada dua macam kain Sarita. Sarita asli yang dibuat di Sulawesi Tengah bagian Selatan, dan Sarita yang dibuat di Belanda yang kemudian diimpor ke Sulawesi.
Menurut Jacob Cornelis Van Leur, pelopor historiografi Indonesia yang telah menulis berbagai artikel mengenai sejarah Indonesia, menyatakan bahwa Sarita impor diproduksi oleh pabrik kapas Fentener van Vlissingen & Co. Ltd di Belanda dari tahun 1880 dan diekspor ke Indonesia sampai kira-kira tahun 1930. Sarita tiruan ini diterapkan dengan Balok Kayu dan kemudian kain diberi warna nila. Kain ini latar belakangnya berwarna biru tua dengan pola berwarna putih. Bahannya adalah kapas buatan pabrik yang halus. Potongan kain dipotong dari kain yang lebih luas dan sisi-sisinya dibiarkan belum selesai. Ujung-ujung kain dilipat dan dijahit dengan mesin serta pinggirannya telah ditambahkan. Di kedua sisi area tengah lebih luas dan area motif yang berbeda diatur secara simetris.”

Sarita yang dibuat di Sulawesi memiliki garis-garis berbintik-bintik, yang menunjukkan bahwa digunakan alat tumpul untuk mencat resist yang lain yang memiliki desain dengan kontur kontinu, menyiratkan penggunaan jenis instrumen lain. Dalam potongan-potongan ini lilin lebah digunakan sebagai resist. Sarita batik asli dibuat dari bahan katun, “motifnya krem natural”, latar belakang atau backgroundnya dicat dengan cara resist biru tua”.
Gittinger (1982) seorang peneliti tekstil yang bergabung dengan museum di Washington menuturkan bahwa kain Sarita yang merupakan tekstil India, ditemukan diantara Sa’dan Toraja dan telah diperdagangkan ke daerah Kulawi (Suku Kulawi) dan masih dimiliki beberapa keluarga bangsawan suku Kulawi yang berpola tahan dalam warna merah dan biru tua yang disebut “lotong boko” atau punggung hitam. Bangsawan suku Kulawi baik laki-laki dan wanita menggunakan Sarita sebagai bahan pakaian pesta untuk upacara pernikahan.
Bagi Suku Toraja, Sarita memiliki nilai sakral dan digunakan dalam berbagai upacara adat serta keagamaan. Kain Sarita dipercaya dapat menolak roh jahat dan menjadi penghubung antara manusia dengan leluhur.

Pada acara ritual sukacita seperti syukuran rumah adat Tongkonan atau Mangrara Banua, kain Sarita menjadi simbol ritual yang disematkan di tiang tinggi langit-langit rumah Tongkonan. Dan dalam ritual duka cita (Rambu Solo), Sarita difungsikan menjadi simbol setiap tahapan ritus, seperti tanda pada bendera duka yang disebut Tombi, sebagai penghias kerbau, sebagai penutup peti jenazah dan digunakan pada atribut-atribut ritual lainnya yang yang ada di lokasi Rambu Solo’. Sarita juga dijadikan bagian dari hiasan kepala dukun atau patung kayu yang diukir untuk melambangkan orang yang sudah meninggal, karena Sarita dianggap simbol yang suci.
Saat ini, pelestarian Sarita Toraja dikembangkan pada motif-motifnya yang menceritakan tentang falsafah kehidupan, budaya dan alam Toraja. Sarita tidak lagi menjadi simbol ritual sahaja, namun kemudian menjadi komoditi dan kebutuhan masyarakatnya seperti untuk pakaian adat, pelengkap fashion yang pembuatannya dilakukan dengan tehnik-tehnik tradisional maupun modern, seperti tehnik cetak, tehnik tulis, dan tehnik lukis.


Salah seorang pelukis dan perajin Toraja, “Yarden Tappe” mengungkapkan pemahaman dan kepeduliannya tentang Sarita yang diimplementasikan dengan meregenerasi dan menekuni kerajinan Sarita yang diturunkan orang tuanya secara turun temurun hingga saat ini, termasuk mempertahankan tehnik- tehnik tradisional dan tehnik pengembangannya dan motif-motif yang sarat dengan falsafah hidup orang Toraja.
Motif-motif yang digambar pada kain Sarita sebahagian besar merupakan motif yang menceritakan tentang budaya, flora dan fauna, kebiasaan orang-orang Toraja setiap harinya seperti bertani dan berkebun, gambar rumah adat tongkonan, pohon kehidupan yang menggambarkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan semasa dan alamnya, dan kami juga menerapkan motif-motif Passura’ berupa gambar yang bercerita tutur Yarden.

Toraja hanya mengenal bahasa lisan dan bahasa simbol yang berupa ukiran atau Passura’. Fungsi Passura’ secara umum dapat disebut sebagai catatan sejarah, biografi kehidupan, ungkapan hati, harapan dan do’a-do’a. Ukiran atau aksara Toraja berhubungan dengan tumbuhan dan mahluk hidup di dunia.
“Sebenarnya yang saya lukis dan saya cetak disetiap kain ataupun tenun itu adalah simbol-simbol dari kehidupan dan budaya Toraja, bisa menyerupai motif sarita asli ataupun pengembangan motif-motif lainnya sesuai imajinasi saya, dan motif-motif yang diinginkan pemesan kain ini” tegas Yarden.

Banyak makna yang dapat disampaikan dalam setiap pembuatan motif kain Toraja yang familiar disebut “Batik Sarita” oleh orang-orang di Toraja saat ini ungkap Yarden. Salah satu motif yang saya adaptasi dari ukiran atau passura’ Toraja adalah motif Pa’barre Allo yang terdapat pada ukiran di rumah Tongkonan. Motif dan ukiran ini sarat dengan philoshopy hidup. Pola motifnya berbentuk matahari bermakna “sinar kehidupan”, Sinarnya akan senantiasa menyinari kehidupan kita, seperti usaha yang kita jalankan, kesejahteraan dan kebahagian keluarga, persahabatan dengan alam dan kedamaian serta keamanan daerah kita.
Saya berharap dapat berkontribusi melestarikan budaya leluhur kita dengan mempertahankan dan mengembangkan kain tradisional Toraja yang masih lestari di kampung, apakah untuk kebutuhan adat, ritual maupun untuk kebutuhan fashion kita sehari-hari. Sehingga kain Sarita ini dapat dimaknai keberadaannya dan memberi arti dalam kehidupan kita dimasa yang akan datang tutup Yarden