Kabut sore turun perlahan di pegunungan Rongkong, Luwu Utara, ketika saya pertama kali melihat selembar kain tua di tangan seorang penenun sepuh, sekitar pertengahan tahun 2015. Seratnya kasar tapi lembut di mata, berwarna merah bata alami dari akar mengkudu dan abu-abu tua tanah warna yang seakan membawa aroma masa silam. Kain itu disebut Tali To Batu, berbentuk selendang panjang berukuran kurang lebih 2,5 meter dan lebar kain 40 cm, sejenis tenun ikat yang nyaris tak dikenal bahkan oleh sebagian besar masyarakat Rongkong saat ini.

Saya menerimanya seperti hadiah yang tak terduga dari seorang ibu penenun tua, dan kemudian membawanya pulang selepas produksi dokumenter di Rongkong. Momen ini terekam dalam foto kami berdua, yang menjadi saksi perjumpaan saya dengan penenun Rongkong dan kain Tali To Batu yang langka ini.
Setelah itu, saya menyampaikan kain tersebut kepada Marlin Sa’bi, penenun ikat Sekomandi dari Desa Bulo Karataun, Kalumpang yang masih kerabat saya. Dari situlah perjalanan riset saya dimulai: menelusuri teknik, pola, dan sejarah tenun antik Tali To Batu, serta mengumpulkan informasi dari literatur langka dan pengamatan langsung di lapangan.
TENUN YANG HILANG DARI INGATAN
Penelusuran saya mengarah pada literatur Kruyt (1920), Holmgren dan Spertus (1989), serta Jager Gerlings (1952). Dalam catatan mereka, Tali To Batu disebut sebagai salah satu tenun ikat tertua dari Rongkong, yang dahulu digunakan dalam berbagai upacara, bahkan sebagai kain kafan dan pakaian bangsawan. Tekniknya dikenal sebagai tannunan dasi atau “tenun dijahit” — proses rumit yang nyaris mustahil direkonstruksi sepenuhnya saat ini. Benang kapas alami diikat dalam pola-pola kecil, dicelup berulang kali untuk menghasilkan motif tersembunyi yang baru terlihat saat ikatan dibuka. Setiap helai Tali To Batu tak pernah sama; setiap lembar memuat rahasia tangan penenunnya.


KEUNIKAN TALI TO BATU
Salah satu hal yang membuat Tali To Batu begitu istimewa adalah proses pembuatannya, berbeda dari tenun ikat lain di Nusantara maupun dunia. Pada kain ikat lain, benang biasanya diikat terlebih dahulu, baru ditenun. Sedangkan pada Tali To Batu, kain ditenun terlebih dahulu, kemudian diikat dan dicelup berulang kali, sehingga motif tersembunyi baru muncul setelah ikatan dibuka. Teknik unik ini membuat setiap helai berbeda dan sangat sulit ditiru.

KEUNIKAN POLA DAN MOTIF
Selain teknik, Tali To Batu memiliki pola motif langka berupa lubang-lubang kecil diantara motif ikat. Dari koleksi pribadi saya, setiap helai rata-rata memiliki sekitar 21 lubang kotak kecil, menandakan ketelitian dan kesabaran tinggi penenun. Motif ini bukan hanya estetis tetapi juga menambah nilai ritual dan spiritual kain sebagai medium penghubung manusia dengan leluhur.

ASAL USUL YANG MASIH DIPERDEBATKAN
Para peneliti berbeda pendapat mengenai asal tenun ini. Holmgren dan Spertus pernah mengaitkannya dengan Palu atau Poso, Sulawesi Tengah. Namun catatan lama, termasuk Jager Gerlings dan Langewis, menegaskan Rongkong sebagai pusat tenun tua Luwu. Koleksi museum dunia, seperti Museum Nasional Finlandia dan Museum Volkenkunde Rotterdam, mencatat kain sejenis dari pedalaman Sulawesi awal abad ke-20. Motif dan teknik serupa juga muncul di kain ikat upacara masyarakat Kaili, Pamona, hingga Lore, menandakan jaringan perdagangan wastra yang hidup ratusan tahun lalu.
KESAMAAN TEKNIK DAN MOTIF : RONGKONG DAN KALUMPANG
Tenun ikat Tali To Batu dan Tenun Ikat motif lainnya dari Rongkong dengan tenun ikat Sekomandi dari Kalumpang menunjukkan kesamaan yang menonjol dalam teknik menenun, pola motif, dan pewarnaan alami. Dari pengamatan langsung di lapangan, kedua tradisi ini memiliki ciri khas hampir identik dalam hal proses ikat dan motif geometris. Secara geografis, terdapat wilayah penghubung yang mengaitkan Rongkong dan Kalumpang, sehingga kemungkinan terjadi pertukaran teknik dan motif di masa lalu. Informasi ini diperoleh melalui pengamatan langsung, kunjungan lapangan, dan keterangan lisan dari penenun lokal seperti Marlin Sa’bi.
MAKNA “TALI TO BATU”
Nama Tali To Batu menyimpan teka-teki: “Tali” = penutup kepala, “to” = orang, “batu” = batu atau leluhur. Dalam beberapa catatan, kain ini terkait ritual pemakaman, digunakan untuk menyelimuti atau melilit kepala orang meninggal, lambang manusia kembali ke asal: manusia dan batu, yang sama-sama abadi. Bagi masyarakat Rongkong, kain bukan sekadar busana, tetapi medium spiritual yang menghubungkan manusia dengan leluhur.
DARI RONGKONG KE KALUMPANG
Penelusuran saya menemukan benang penghubung ke Kalumpang, Mamuju, melalui narasumber Marlin Sa’bi, penenun ikat Sekomandi. Ia pernah mencoba menelusuri teknik Tali To Batu, namun karena kain ini sangat tua, langka, dan memiliki nilai magis, teknik menenunnya tetap menjadi misteri hingga kini. Tenun ini punah, dan keterangan Marlin membantu memperkuat pemahaman asal-usul kain bagi generasi sekarang.

MENJAGA JEJAK WASTRA YANG PUNAH
Kain tenun ikat Tali To Batu yang kini saya simpan bukan sekadar koleksi antik. Ia memuat narasi panjang tentang perempuan, kerja tangan, dan hubungan manusia dengan alam. Di tengah dunia yang bergerak cepat, wastra seperti ini mengingatkan kita pada kesabaran, keterhubungan, dan pengetahuan lintas generasi. Kisahnya mungkin dimulai di lembah sunyi Rongkong, tapi pesannya melampaui waktu : setiap helai kain adalah arsip sejarah, dan tugas kita adalah memastikan ia tak hilang dari ingatan.
Tulisan ini merupakan catatan perjalanan saya (Anny Marimbunna) di blog Wastra Journey, sebagai upaya mendokumentasikan kembali wastra Nusantara yang nyaris punah agar setiap benang tetap bercerita.





