Puluhan tahun lamanya, keluarga Ade Sri Rahayu di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan hidup dari berjualan biji kopi atau green bean hasil dari kebunnya sendiri. Mulai dari neneknya hingga orang tuanya, semua mengandalkan komoditas tersebut untuk meraup rupiah.
Hasilnya tak mengecewakan, namun penghasilan yang didapatkan selalu bergantung pada harga biji kopi yang ditetapkan oleh pasar. Kadang naik, kadang turun. Parahnya jika komoditas itu harganya turun tajam, maka tidak jarang keluarga ini pun merugi.
Pada 2009, Ade yang saat itu sudah dipercaya untuk memegang usaha keluarganya, mulai mengubah konsep dan sasaran pasar mereka. Dia tidak ingin harga produknya selalu diatur oleh pihak tertentu, supaya kondisi merugi yang dirasakan, tidak terjadi lagi.
Dengan melalui gaung hilirisasi UMKM, dia pun mencoba keluar dari kebiasaan keluarganya. Bukan hanya menjual biji kopi, tapi juga menjual hasil olahan biji kopi tersebut. Kini kopinya bukan hanya dijual ke kedai kopi atau ke pemasok, namun telah berhasil menembus pasar internasional melalui kopi kemasan yang dia namai Kopi Leluhur.
“Kopi Leluhur itu saya namai karena keluarga kami sudah jualan kopi turun temurun, dari nenek saya dulu. Tapi dulu hanya jualan bijinya saja, nah saya akhirnya coba untuk jual hasil olahannya juga. Saya buat jadi kopi kemasan siap minum supaya pasarnya bisa lebih luas,” ujar Ade.
Setelah kopinya diolah menjadi kopi kemasan, pemasarannya benar-benar menjadi semakin luas. Ade bercerita, waktu menjual biji kopi, produknya hanya bisa dipasarkan ke pemasok atau kedai kopi saja. Sementara saat ini, bisa dipasarkan dimanapun, mulai di outletnya sendiri, toko-toko ritel, hingga di beberapa e-commerce.